gw berpikir, apaan nih? jangan-jangan sertifikat gw? dengan senang hati dan ngga sabaran gw cabik-cabik eh buka amplop itu. hasilnya hampir aja tuh isinya kerobek, tapi untung alhamdulillah ngga jadi. gue intip sedikit isinya. Alhamdulillah, ternyata isinya emang sertifikat gw. tapi kok, rasanya ada yang kurang yah...
well, review dulu yuk cerpen gw di LPM Techno 2013 yang jadi juara ke-3. soal siap-siap juaranya bisa dilihat disini.
Bungkus
Makaroni Pedas ‘Tak Bermerk
Aku membuka mataku. Kulihat pemandangan
yang sama seperti biasanya: Lapangan luas yang dihiasi rumput-rumput hijau__yang
mulai menguning terserang sengatan matahari__dan tersebar jarang-jarang. Pasir-pasir
hitam yang menghiasi beberapa sudut lapangan yang kini kulihat sebagian kecil
dari mereka melayang-layang di udara sekitarku ketika angin berhembus. Kaki-kaki
pohon dengan akar-akar yang mencuat disekitarnya, menunjukkan seberapa luas
akar itu menyebar, dan seberapa dalam akar-akar itu menghujam tanah,
menunjukkan seberapa tangguh pohon itu mempertahankan kedudukannya. Kaum Bebatuan
yang sedang tertidur, dan sebagian besar dari mereka tersembunyi di balik berkeranjang-keranjang
daun kering yang tersebar disekitar pepohonan. Beberapa serangga, cacing-cacing,
dan mahluk tanah lainnya, dan kaki-kaki gazebo serta atap diatasku, yang kurasa
adalah lantai gazebo. Lantai yang selalu
melindungiku dari tetesan hujan, tapi itu juga yang selalu menghalangiku untuk
diingat.
Kulihat disana seekor laba-laba sedang
menenun sarangnya, benangnya yang berwarna kuning keemasan keluar dari
pantatnya yang bulat dan hitam legam. Aku mengalihkan pandanganku ke bawah,
dimana teman-temanku sesama mahluk mati berserakan. Wajah mereka menyiratkan
kepedihan yang mendalam. Dan untuk kesekian kalinya, dalam hatiku aku berdoa
kepada tuhan. “Tuhan, berikanlah aku sepasang tangan agar aku bisa melindungi
mereka dalam tubuhku, jika engkau tidak berkenan, maka berikanlah aku sepasang
tangan tanpa jari, jika engkau tak berkenan juga, maka biarkanlah aku memiliki
2 jari yang berdekatan di badanku agar aku bisa mengambil mereka dan melindunginya
dalam tubuhku,” kumohon Tuhan, kabulkanlah doaku.
“Sudah berapa lama Tras?” kudengar
pertanyaan yang sama untuk yang ke 456 kalinya di pagi itu dari sahabatku,
Bungkus Makaroni Pedas ‘Tak Bermerk.
“Sudah 456 hari ini Bung.” Jawabku
perlahan sementara sinar dimatanya perlahan meredup seolah-olah kehilangan 1
watt tiap mikrodetiknya. “Pasti, yakinlah bahwa nanti akan ada manusia yang
akan membantu kita, jika tidak nanti ya nanti, jika tidak nanti ya nantinya
lagi, jika tidak nantinya lagi ya pasti di nanti yang lainnya. Aku yakin hari
itu pasti akan datang. Optimislah!” kataku mencoba menyemangatinya, walaupun
dalam hatiku sendiri aku sedikit takut bahwa usahaku ini ‘tak berhasil.
Seolah menjawab ketakutanku, wajah
sahabatku itu langsung berubah lembek laksana Plastik Bekas Bungkus Batagor
yang terserak setengah meter dariku. “Tapi ini sudah yang ke 456 harinya aku
disini Tras, dan ini sudah 460 hari untukmu. Apa kau ‘tak capek berharap
seperti itu untuk kesekian lamanya???”
“Aku ‘tak berharap Bung, tapi aku
meyakini itu dengan hati. Jika aku sekedar mengatakannya, itu artinya aku
berharap.”
“Tapi lihatlah kenyataannya, mereka
menghianati kita dengan mencampakkan kita diatas tanah yang dingin ini. Bahkan
tiap malam para kaum Bebatuan selalu mengutuk, menyumpah, dan menyerapah para
manusia itu karena mereka membuat para kaum Bebatuan cepat lapuk dengan
membiarkan kaumku berserakan. Bahkan kau sendiri hampir menjadi kaumku!”
Aku terdiam, apa yang dikatakannya
adalah sebuah kebenaran, usiaku sudah hampir 2 setengah tahun, dicampakkan, dan
tak terawat, dan lagi aku tak berguna. Warna kulitku sudah kusam dan sebagian
besar sudah pecah-pecah bak tanah lumpur di pertambakan yang lama tak direngkuh
air, salah satu sudutku hampir bolong, dan aku hampir menjadi salah satu dari
mereka. Yah, tinggal menunggu waktu saja.
Tapi... aku tidak mau! Aku tidak mau
menjadi kaum Sampah yang terserak begitu saja seperti sahabatku. Yang selalu
menyalahkan dirinya atas kerusakan bumi ini, dan karenanya selalu menderita
tiap harinya, menunggu manusia datang dan menolongnya untuk meletakkannya pada
tempatnya, menunggu manusia menepati janjinya... Argh! aku tidak boleh putus
asa. Aku adalah pelindung, tempat bagi para sampah seharusnya berada. Aku yakin
hari itu pasti datang, hari dimana manusia sadar akan keberadaan kaumku dan
kaum sahabatku, sadar akan bumi ini yang semakin hari kian sekarat. Tuhan,
jawablah doaku...
“Kenapa kau diam?” tanyanya lagi.
“Tidak, aku hanya berpikir.”
“Berpikir tentang kami? Manusia? Atau
dirimu sendiri?”
“Semuanya benar Bung,” aku menatap
dalam-dalam mata sahabatku itu, “Biar kuperjelas Bung,” kemudian mataku menyapu
sekitarku, memperhatikan para kaum sampah disekitarku yang seharusnya dapat aku
lindungi.
“Kepada seluruh kaum Sampah!” aku berseru dan banyak wajah-wajah kusut dan
berputus asa itu berpaling padaku, “Kumohon, berhentilah menyalahkan diri
kalian sendiri dengan menganggab bahwa diri kalianlah penyebab rusaknya bumi
ini, ini bukanlah salah kalian! Ini adalah salah manusia yang telah melanggar
janji ‘tak langsung’ mereka kepada kalian. Janji bahwa kalian akan ditempatkan
pada tempatnya setelah tak digunakan lagi.
Dengan mengingkari janji itu, mereka secara langsung telah merusak bumi
kita. Dan lagi, untuk apa kalian, dan aku diciptakan jika pada akhirnya
dibiarkan oleh mereka. Baik, mungkin otak mereka telah eror, mereka telah
menggali kematian mereka sendiri, mereka telah membunuh generasi masa depan
mereka sendiri. Tapi ketahuilah, walaupun semua ini adalah kesalahan para
manusia, tapi aku yakin tidak semua manusia seperti itu. Aku yakin, pasti masih
ada manusia yang memenuhi janji mereka, yang masih peduli pada bumi kita...”
Mata mereka sedikit terbuka lebar,
suara riuh rendah terdengar diantara mereka, ada yang bergumam, diam tenggelam
dalam pikiran mereka, berdiskusi dengan temannya, dan ‘tak sedikit juga yang
masih berwajah kusut. Ya, ‘tak sedikit
yang masih berwajah kusut, entah mengapa ini membuat hatiku terasa terjun bebas
keatas tanah, mendarat dengan keras, Ceplok!
Tiba-tiba...
Brakk! Sesuatu dibanting diatas kami. Dan kami mendengar suara mengaduh
mahluk mati lain seperti kami dari atas. Suara kami__para mahluk mati__bagi
kami cenderung seperti gemerisik angin, dan kami tahu itu dari frekuensi dan
amplitudo suara yang merambat dalam udara dan akhirnya menyentuh tubuh kami.
“Hei, kasihanlah tas kau itu kau
banting-banting dari tadi” ucap seorang manusia dengan logat Batak diatas kami,
kakinya yang berbalutkan celana jins biru dan bersepatu sekolah warna hitam itu
tampak tergantung didepanku. Rupanya yang mengaduh tadi adalah sebuah tas.
“Biarin, tas-tas gue ngapain lo sewot.” Suara lain menjawab dengan tak
acuh, juga dari atas kami. Kudengar suara langkah kaki diatas kami, kupikir dia
sedang berjalan di lantai gazebo.
“Bah, ini anak dinasehati ‘tak mau
nurut. Ingatlah, uang saku kau bulan ini tinggal berapa?”
“Emang, apa hubungannya sama tas gue
Gor?” tanya orang itu masih dengan tak acuh.
“Ya, kalau tas kau terus kau
banting-banting kaya’ gitu, nanti rusaklah itu, terus kau beli lagi dah tas
baru, uang saku kau bulan ini pun berkurang dan gue...” entah kenapa cara orang
Batak itu melafalkan kata ‘gue’ begitu mengganggu di pendengaranku, mungkin
karena tak seperti orang-orang lain disekitarku, maksudku manusia-manusia lain
disekitarku. Mungkin karena logat
Bataknya masih menempel. “...’tak akan bisa pinjam uang lagi sama kau lah,” aku
tersenyum kecut mendengar akhir kalimat manusia Batak itu. Dasar manusia.
“Heemm, kirain apa’an, ternyata uang
lagi, uang lagi. Daripada gue pinjemin elo nih Gor, udah ngga jelas kapan
baliknya, mending gue kasiin buat bapak-bapak berseragam kuning didepan sekolah
kita...”
“Bah, macam mana pula kau?” manusia
Batak itu terdengar ‘tak percaya.
“Yah, sekedar ngasi penghargaan aja
buat mereka yang dengan sukarela nerima gaji kecil hanya untuk ngebersihin lingkungan
kita yang seluas ini.” Aku terhenyak mendengar pernyataan teman manusia Batak
tadi, apakah manusia seperti itu masih ada? Aku kembali memperhatikan
teman-temanku sesama mahluk mati. Lewat tatapan mereka yang terlihat tak
mengerti dan penuh tanda tanya, aku tahu mereka juga mendengar pernyataan itu.
“Yah, tapi setidaknya janganlah kau
banting-banting tas uzur kau itu. Nanti kalau rusak dan tak kau gunakan lagi
nanti kau buang jadi sampah. Beruntung kau buang ada yang memungut buat dipakai
lagi, atau mungkin ada yang mau mendaur ulang, lah kalau dibakar...”
“Apa ngga sama aja gue secara ngga
langsung mindahin sampah ke udara.”
“Itu pula yang mau aku cakap tadi.”
“Lo betul Gor, lebih baik mencegah daripada
mengobati”
“Sip,” Aku mendengar suara Plok! dari atas, seolah 2 benda pipih
dihantamkan 1 sama lain.
“Ngomong-ngomong, hari ini tanggal
berapa Gor?” Tanya teman manusia Batak tadi, kudengar suara klepak sepatu yang
dijatuhkan dari atas. Ternyata sepasang sepatu kets berwarna biru dijatuhkan
dari atas.
“Tanggal 22 April Shar” jawab orang
berlogat Batak itu.
“Wah kebetulan banget nih Gor”
“Hah, ada apa Shar? Lo ulang tahun?”
manusia Batak yang dipanggil Gor itu terdengar antusias.
“Bukaaann, lo tuh traktir mulu
lagunya!” teman Gor yang dipanggil Shar itu terdengar jengkel,
“Aduh, masa’ lo
ngga tahu sih Gor... Hari Bumi Gor!”
Hari Bumi? Istilah yang sangat asing
bagiku.
“Lalu kau mau ngajak aku bersih-bersih
gitu? Udah bersih ini, tak usahlah dibersihkan lagi”
“Bilang aja lo males, ingat tuh kode
etik lo”
“Hmmm, mulai lagi dah manusia satu
ini. Oke-oke, yang paling banyak ngumpulin sampah dalam 10 menit, haruslah
ditraktir makan siang.”
“Yee, ujung-ujungnya traktir lagi.
Oke, kecil...”
“Okelah, mulai dari...” Gor mulai
memberi aba-aba, “sekarang!”
Dan aku melihat kedua manusia ini
melompat turun dari atas gazebo, merunduk untuk melihat kolong tempatku berada.
Salah satu dari mereka menarikku dari sana. Dan aku melihat dari tempatku
sekarang ini berada__samping gazebo__teman-temanku dari kaum Sampah yang dipunguti
dengan tergesa-gesa. Mereka dimasukkan kedalam tubuhku oleh seorang manusia
yang berkaos putih dan berjins hitam. Dia pasti Shar. Dan aku, aku berguna
lagi. Aku masih berguna!
“Kau benar Tras, tidak semua manusia
adalah seorang penghianat!”
“Ya, kau benar Tras!”
“Terimakasih telah meyakinkanku selama
ini Tras!” Kudengar suara-suara para kaum Sampah termasuk suara sahabatku,
Bungkus Makaroni ‘Tak Bermerk. Aku tersenyum mendengar semua itu, seolah
berjuta-juta kupu-kupu berjejalan didalam hatiku.
Dan akhirnya, setelah 460 hari aku
menunggu, saat-saat seperti ini tiba.
Terimakasih tuhan, untuk
mengabulkanku doaku dengan membisikkan niat kebaikan kepada kedua manusia ini,
untuk menyelamatkan bumi kami walaupun dengan cara yang ‘berbeda’.
iyah, itulah cerpen gw, udah berbulan-bulan lalu diumumin, tepatnya tanggal 18 oktober 2013 pukul 06:50, yah semua smsnya masih ada di inbox hp gw sih makanya gw bisa nulis kronologi pengumuman itu. kalau diinget" emang nyakitin juga sih, gw ngga bisa ikut workshop ke Malang karena besoknya ada acara Palmapala yang penting bgt (gw lupa apaan, hal-hal yang ribet emang cenderung gw lupain, daripada sakit ati), sementara gw sendiri sibuk ngerjain tugas yang banyak banget, selain itu gw juga udah janji ama ibu gw buat bantu-bantu ngeberesin rumah (gw waktu itu mau pindah), kalau gw pergi sendiri pasti ibu gw juga ngga ngebolehin ('ngapain lu ke malang segala? sendirian lagi!'), sementara kakak gw yang katanya mau nemenin ke Malang malah ada keperluan, so tanggal 19 gw pada kewajiban gw sebagai warga Palmapala. yah, akibatnya sih gw ngga bisa dapet ilmu dari Eros Djarot dan sampe sekarang hadiah yang tersisa belom dikirimin. mungkin ongkos maketin benda mahal yah?
dan baru sekarang sertifikatnya gw dapetin. bagaimana dengan hadiah yang lainnya kaya' trophy dan uang? well, sebenernya sampe sekarang masih belum di tangan gw. sangat disayangkan memang. gw cuma bisa berharap, pihak yang berwajib mau bertanggung jawab atas trophy dan uang itu. sesuai dengan apa yang udah dikatakan cp-nya ke kakak gw. apalagi gw juga butuh uang, hehe maklum anak kostan emang selalu krisis uang. yah i hope they are know about this *Sign...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar