as a human in this world, try to save the world

"hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. terimalah, dan hadapilah. Soe Hok Gie

Selasa, 28 Januari 2014

antara Lomba Cerpen LPM Techno 2013 dan gue

tadi pagi, lagi asyik-asyiknya gw ngegarap tugas seni budaya yang ajigile njelimetnya, tiba-tiba seorang petugas TU sekolah gw nyamperin gw dan nyerahin sebuah amplop besar banget. amplop-amplop yang biasa digunain buat ngelamar kerja gitu deh.

gw berpikir, apaan nih? jangan-jangan sertifikat gw? dengan senang hati dan ngga sabaran gw cabik-cabik eh buka amplop itu. hasilnya hampir aja tuh isinya kerobek, tapi untung alhamdulillah ngga jadi. gue intip sedikit isinya. Alhamdulillah, ternyata isinya emang sertifikat gw. tapi kok, rasanya ada yang kurang yah...
well, review dulu yuk cerpen gw di LPM Techno 2013 yang jadi juara ke-3. soal siap-siap juaranya bisa dilihat disini.

Bungkus Makaroni Pedas ‘Tak Bermerk
Aku membuka mataku. Kulihat pemandangan yang sama seperti biasanya: Lapangan luas yang dihiasi rumput-rumput hijau__yang mulai menguning terserang sengatan matahari__dan tersebar jarang-jarang. Pasir-pasir hitam yang menghiasi beberapa sudut lapangan yang kini kulihat sebagian kecil dari mereka melayang-layang di udara sekitarku ketika angin berhembus. Kaki-kaki pohon dengan akar-akar yang mencuat disekitarnya, menunjukkan seberapa luas akar itu menyebar, dan seberapa dalam akar-akar itu menghujam tanah, menunjukkan seberapa tangguh pohon itu mempertahankan kedudukannya. Kaum Bebatuan yang sedang tertidur, dan sebagian besar dari mereka tersembunyi di balik berkeranjang-keranjang daun kering yang tersebar disekitar pepohonan. Beberapa serangga, cacing-cacing, dan mahluk tanah lainnya, dan kaki-kaki gazebo serta atap diatasku, yang kurasa adalah lantai gazebo. Lantai  yang selalu melindungiku dari tetesan hujan, tapi itu juga yang selalu menghalangiku untuk diingat.

Kulihat disana seekor laba-laba sedang menenun sarangnya, benangnya yang berwarna kuning keemasan keluar dari pantatnya yang bulat dan hitam legam. Aku mengalihkan pandanganku ke bawah, dimana teman-temanku sesama mahluk mati berserakan. Wajah mereka menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dan untuk kesekian kalinya, dalam hatiku aku berdoa kepada tuhan. “Tuhan, berikanlah aku sepasang tangan agar aku bisa melindungi mereka dalam tubuhku, jika engkau tidak berkenan, maka berikanlah aku sepasang tangan tanpa jari, jika engkau tak berkenan juga, maka biarkanlah aku memiliki 2 jari yang berdekatan di badanku agar aku bisa mengambil mereka dan melindunginya dalam tubuhku,” kumohon Tuhan, kabulkanlah doaku.

“Sudah berapa lama Tras?” kudengar pertanyaan yang sama untuk yang ke 456 kalinya di pagi itu dari sahabatku, Bungkus Makaroni Pedas ‘Tak Bermerk.

“Sudah 456 hari ini Bung.” Jawabku perlahan sementara sinar dimatanya perlahan meredup seolah-olah kehilangan 1 watt tiap mikrodetiknya. “Pasti, yakinlah bahwa nanti akan ada manusia yang akan membantu kita, jika tidak nanti ya nanti, jika tidak nanti ya nantinya lagi, jika tidak nantinya lagi ya pasti di nanti yang lainnya. Aku yakin hari itu pasti akan datang. Optimislah!” kataku mencoba menyemangatinya, walaupun dalam hatiku sendiri aku sedikit takut bahwa usahaku ini ‘tak berhasil.

Seolah menjawab ketakutanku, wajah sahabatku itu langsung berubah lembek laksana Plastik Bekas Bungkus Batagor yang terserak setengah meter dariku. “Tapi ini sudah yang ke 456 harinya aku disini Tras, dan ini sudah 460 hari untukmu. Apa kau ‘tak capek berharap seperti itu untuk kesekian lamanya???”

“Aku ‘tak berharap Bung, tapi aku meyakini itu dengan hati. Jika aku sekedar mengatakannya, itu artinya aku berharap.”

“Tapi lihatlah kenyataannya, mereka menghianati kita dengan mencampakkan kita diatas tanah yang dingin ini. Bahkan tiap malam para kaum Bebatuan selalu mengutuk, menyumpah, dan menyerapah para manusia itu karena mereka membuat para kaum Bebatuan cepat lapuk dengan membiarkan kaumku berserakan. Bahkan kau sendiri hampir menjadi kaumku!”
Aku terdiam, apa yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran, usiaku sudah hampir 2 setengah tahun, dicampakkan, dan tak terawat, dan lagi aku tak berguna. Warna kulitku sudah kusam dan sebagian besar sudah pecah-pecah bak tanah lumpur di pertambakan yang lama tak direngkuh air, salah satu sudutku hampir bolong, dan aku hampir menjadi salah satu dari mereka. Yah, tinggal menunggu waktu saja.

Tapi... aku tidak mau! Aku tidak mau menjadi kaum Sampah yang terserak begitu saja seperti sahabatku. Yang selalu menyalahkan dirinya atas kerusakan bumi ini, dan karenanya selalu menderita tiap harinya, menunggu manusia datang dan menolongnya untuk meletakkannya pada tempatnya, menunggu manusia menepati janjinya... Argh! aku tidak boleh putus asa. Aku adalah pelindung, tempat bagi para sampah seharusnya berada. Aku yakin hari itu pasti datang, hari dimana manusia sadar akan keberadaan kaumku dan kaum sahabatku, sadar akan bumi ini yang semakin hari kian sekarat. Tuhan, jawablah doaku...

“Kenapa kau diam?” tanyanya lagi.

“Tidak, aku hanya berpikir.”

“Berpikir tentang kami? Manusia? Atau dirimu sendiri?”

“Semuanya benar Bung,” aku menatap dalam-dalam mata sahabatku itu, “Biar kuperjelas Bung,” kemudian mataku menyapu sekitarku, memperhatikan para kaum sampah disekitarku yang seharusnya dapat aku lindungi.

“Kepada seluruh kaum Sampah!”  aku berseru dan banyak wajah-wajah kusut dan berputus asa itu berpaling padaku, “Kumohon, berhentilah menyalahkan diri kalian sendiri dengan menganggab bahwa diri kalianlah penyebab rusaknya bumi ini, ini bukanlah salah kalian! Ini adalah salah manusia yang telah melanggar janji ‘tak langsung’ mereka kepada kalian. Janji bahwa kalian akan ditempatkan pada tempatnya setelah tak digunakan lagi.  Dengan mengingkari janji itu, mereka secara langsung telah merusak bumi kita. Dan lagi, untuk apa kalian, dan aku diciptakan jika pada akhirnya dibiarkan oleh mereka. Baik, mungkin otak mereka telah eror, mereka telah menggali kematian mereka sendiri, mereka telah membunuh generasi masa depan mereka sendiri. Tapi ketahuilah, walaupun semua ini adalah kesalahan para manusia, tapi aku yakin tidak semua manusia seperti itu. Aku yakin, pasti masih ada manusia yang memenuhi janji mereka, yang masih peduli pada bumi kita...”

Mata mereka sedikit terbuka lebar, suara riuh rendah terdengar diantara mereka, ada yang bergumam, diam tenggelam dalam pikiran mereka, berdiskusi dengan temannya, dan ‘tak sedikit juga yang masih berwajah kusut. Ya,  ‘tak sedikit yang masih berwajah kusut, entah mengapa ini membuat hatiku terasa terjun bebas keatas tanah, mendarat dengan keras, Ceplok! Tiba-tiba...

Brakk! Sesuatu dibanting diatas kami. Dan kami mendengar suara mengaduh mahluk mati lain seperti kami dari atas. Suara kami__para mahluk mati__bagi kami cenderung seperti gemerisik angin, dan kami tahu itu dari frekuensi dan amplitudo suara yang merambat dalam udara dan akhirnya menyentuh tubuh kami.

“Hei, kasihanlah tas kau itu kau banting-banting dari tadi” ucap seorang manusia dengan logat Batak diatas kami, kakinya yang berbalutkan celana jins biru dan bersepatu sekolah warna hitam itu tampak tergantung didepanku. Rupanya yang mengaduh tadi adalah sebuah tas.

“Biarin, tas-tas gue ngapain lo sewot.” Suara lain menjawab dengan tak acuh, juga dari atas kami. Kudengar suara langkah kaki diatas kami, kupikir dia sedang berjalan di lantai gazebo.

“Bah, ini anak dinasehati ‘tak mau nurut. Ingatlah, uang saku kau bulan ini tinggal berapa?”

“Emang, apa hubungannya sama tas gue Gor?” tanya orang itu masih dengan tak acuh.

“Ya, kalau tas kau terus kau banting-banting kaya’ gitu, nanti rusaklah itu, terus kau beli lagi dah tas baru, uang saku kau bulan ini pun berkurang dan gue...” entah kenapa cara orang Batak itu melafalkan kata ‘gue’ begitu mengganggu di pendengaranku, mungkin karena tak seperti orang-orang lain disekitarku, maksudku manusia-manusia lain disekitarku. Mungkin  karena logat Bataknya masih menempel. “...’tak akan bisa pinjam uang lagi sama kau lah,” aku tersenyum kecut mendengar akhir kalimat manusia Batak itu. Dasar manusia.

“Heemm, kirain apa’an, ternyata uang lagi, uang lagi. Daripada gue pinjemin elo nih Gor, udah ngga jelas kapan baliknya, mending gue kasiin buat bapak-bapak berseragam kuning didepan sekolah kita...”

“Bah, macam mana pula kau?” manusia Batak itu terdengar ‘tak percaya.

“Yah, sekedar ngasi penghargaan aja buat mereka yang dengan sukarela nerima gaji kecil hanya untuk ngebersihin lingkungan kita yang seluas ini.” Aku terhenyak mendengar pernyataan teman manusia Batak tadi, apakah manusia seperti itu masih ada? Aku kembali memperhatikan teman-temanku sesama mahluk mati. Lewat tatapan mereka yang terlihat tak mengerti dan penuh tanda tanya, aku tahu mereka juga mendengar pernyataan itu.

“Yah, tapi setidaknya janganlah kau banting-banting tas uzur kau itu. Nanti kalau rusak dan tak kau gunakan lagi nanti kau buang jadi sampah. Beruntung kau buang ada yang memungut buat dipakai lagi, atau mungkin ada yang mau mendaur ulang, lah kalau dibakar...”

“Apa ngga sama aja gue secara ngga langsung mindahin sampah ke udara.”

“Itu pula yang mau aku cakap tadi.”

 “Lo betul Gor, lebih baik mencegah daripada mengobati”

“Sip,” Aku mendengar suara Plok! dari atas, seolah 2 benda pipih dihantamkan 1 sama lain.

“Ngomong-ngomong, hari ini tanggal berapa Gor?” Tanya teman manusia Batak tadi, kudengar suara klepak sepatu yang dijatuhkan dari atas. Ternyata sepasang sepatu kets berwarna biru dijatuhkan dari atas.

“Tanggal 22 April Shar” jawab orang berlogat Batak itu.

“Wah kebetulan banget nih Gor”

“Hah, ada apa Shar? Lo ulang tahun?” manusia Batak yang dipanggil Gor itu terdengar antusias.

“Bukaaann, lo tuh traktir mulu lagunya!” teman Gor yang dipanggil Shar itu terdengar jengkel, 

“Aduh, masa’ lo ngga tahu sih Gor... Hari Bumi Gor!”

Hari Bumi? Istilah yang sangat asing bagiku.

“Lalu kau mau ngajak aku bersih-bersih gitu? Udah bersih ini, tak usahlah dibersihkan lagi”

“Bilang aja lo males, ingat tuh kode etik lo”

“Hmmm, mulai lagi dah manusia satu ini. Oke-oke, yang paling banyak ngumpulin sampah dalam 10 menit, haruslah ditraktir makan siang.”

“Yee, ujung-ujungnya traktir lagi. Oke, kecil...”

“Okelah, mulai dari...” Gor mulai memberi aba-aba, “sekarang!”

Dan aku melihat kedua manusia ini melompat turun dari atas gazebo, merunduk untuk melihat kolong tempatku berada. Salah satu dari mereka menarikku dari sana. Dan aku melihat dari tempatku sekarang ini berada__samping gazebo__teman-temanku dari kaum Sampah yang dipunguti dengan tergesa-gesa. Mereka dimasukkan kedalam tubuhku oleh seorang manusia yang berkaos putih dan berjins hitam. Dia pasti Shar. Dan aku, aku berguna lagi. Aku masih berguna!

“Kau benar Tras, tidak semua manusia adalah seorang penghianat!”

“Ya, kau benar Tras!”

“Terimakasih telah meyakinkanku selama ini Tras!” Kudengar suara-suara para kaum Sampah termasuk suara sahabatku, Bungkus Makaroni ‘Tak Bermerk. Aku tersenyum mendengar semua itu, seolah berjuta-juta kupu-kupu berjejalan didalam hatiku.

Dan akhirnya, setelah 460 hari aku menunggu, saat-saat seperti ini tiba.
Terimakasih tuhan, untuk mengabulkanku doaku dengan membisikkan niat kebaikan kepada kedua manusia ini, untuk menyelamatkan bumi kami walaupun dengan cara yang ‘berbeda’.

iyah, itulah cerpen gw, udah berbulan-bulan lalu diumumin, tepatnya tanggal 18 oktober 2013 pukul 06:50, yah semua smsnya masih ada di inbox hp gw sih makanya gw bisa nulis kronologi pengumuman itu. kalau diinget" emang nyakitin juga sih, gw ngga bisa ikut workshop ke Malang karena besoknya ada acara Palmapala yang penting bgt (gw lupa apaan, hal-hal yang ribet emang cenderung gw lupain, daripada sakit ati), sementara gw sendiri sibuk ngerjain tugas yang banyak banget, selain itu gw juga udah janji ama ibu gw buat bantu-bantu ngeberesin rumah (gw waktu itu mau pindah), kalau gw pergi sendiri pasti ibu gw juga ngga ngebolehin ('ngapain lu ke malang segala? sendirian lagi!'), sementara kakak gw yang katanya mau nemenin ke Malang malah ada keperluan, so tanggal 19 gw pada kewajiban gw sebagai warga Palmapala. yah, akibatnya sih gw ngga bisa dapet ilmu dari Eros Djarot dan sampe sekarang hadiah yang tersisa belom dikirimin. mungkin ongkos maketin benda mahal yah?
dan baru sekarang sertifikatnya gw dapetin. bagaimana dengan hadiah yang lainnya kaya' trophy dan uang? well, sebenernya sampe sekarang masih belum di tangan gw. sangat disayangkan memang. gw cuma bisa berharap, pihak yang berwajib mau bertanggung jawab atas trophy dan uang itu. sesuai dengan apa yang udah dikatakan cp-nya ke kakak gw. apalagi gw juga butuh uang, hehe maklum anak kostan emang selalu krisis uang. yah i hope they are know about this *Sign...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar