as a human in this world, try to save the world

"hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. terimalah, dan hadapilah. Soe Hok Gie

Senin, 20 Januari 2014

For my x

SATU
 “Kita di organisasi ini adalah saudara! Kamu tahu kenapa organisasi ini hampir tertutup? Itu karena dulu ada anggota semacam kalian yang menyelewengkan tugas! Ngga menutup kemungkinan kalian juga bisa kaya’ gitu
“Cepat putus, atau kujemur kalian berdua sampai matahari terbenam, dilapangan basket ini! Mau?”
Seperti terlukiskan di udara, kata-kata kak Arin dan kak Fika terus menari-nari dimataku. Aku ‘tak bisa mengenyahkan kata-kata itu begitu saja seperti membalikkan telapak  tangan. Bukan hanya karena kata-kata itu begitu menyakitkan dan mengancam, tapi juga karena kata-kata itu benar. Keputusanku memang salah. Menerima Dion sebagai pemilik hatiku. Tetapi cinta? Adakah yang bisa mencegahnya menyusupi kalbu seorang manusia? Jika cinta datang dengan permisi, mungkin aku akan benar-benar menolaknya dan menyuruhnya enyah sejauh mungkin. Dan mungkin juga aku bukanlah orang yang konsisten, sebab sejak awal niatku memasuki tahun ajaran baru ini adalah menggapai mimpiku, berada di puncak Mahameru. Tapi, sekali lagi, adakah yang bisa mencegah cinta menyusupi kalbu seorang manusia? ‘tak ada yang berani menjawab. Semua diam, walaupun aku sudah mencoba bertanya kepada rumput yang bergoyang. Konyol? Itulah aku.
Ngga usah dipikirkan...” ucap Dion yang sedang menyetir sepedamotor. Hari ini dia sedang senggang di rumah, jadi dia mau mengantarku pulang walaupun jarak rumahku dengannya sekitar 6 km.
“Aku ngga memikirkan apa pun” jawabku.
“Kau ngga pandai berbohong, lihat, matamu melihat ke arah kanan. Itu tandanya orang sedang berbohong”
Sotoy!” ucapku agak dongkol.
“Terserah, tapi aku yakin kau sedang memikirkan apa yang dikatakan kak Arin dan Fika.”
Sepedamotor yang kami naiki berdua untuk menuju kerumahku terus melintasi jalanan kota Ambarawa yang mulai dipadati arus balik orang-orang yang pulang kerja. Mendung menghiasi langit sore ini, dan sedikit demi sedikit titik-titik gerimis menghiasi helm Dion, membuat bayanganku yang terpantul disana menjadi ‘tak jelas. Lama kami diam hingga kami melewati kompleks pertokoan Gangpira.
“Ya, aku memikirkannya” ucapku sambil mengusap air mata.
“‘Tak usah menangis begitu” katanya sambil tersenyum miring, senyuman miringnya yang begitu khaslah yang membuatku menyukainya.
“Siapa yang menangis? Mataku iritasi tahu kena gesekan udara, makanya jadi kaya’ menangis”
“Iyadeh-yadeh Miss. Little Perfect...” ia menyeringai lagi.
“Lagipula kamu juga bohong kok,”
“Bohong apa?”
“Bohong kalau kamu bilang mataku melihat kearah kanan”
“Cuma kamu yang bohong, mau ngebodohin aku ya? Ini...” dia mengetuk-ngetuk spion sepedamotor sebelah kiri yang agak mendongak kesamping kiri atas “Alat berguna yang ngga bisa bohong” ucapnya dengan penuh kemenangan.
 “Jadi selama ini kamu ngamatin aku lewat spion itu?”
“Iyalah... kamu ini ngakunya ranking 1 di kelas kok ngga nyadar-nyadar. Malu sama IQ neng...” ejeknya. Sialan!
Aku memukul bahu kanannya agak keras hingga sepedamotor Dion sedikit membelok ke kiri.
“Hati-hati dong neng, kalau jatuh ntar abang yang disuruh tanggung jawab kalau eneng kenapa-kenapa!”
Aku tercengang, nyaris saja kami menabrak sepedamotor lain di sebelah kiri kami. “Maaf...” kataku dengan pelan, penuh penyesalan.
“Iya, ngga apa-apa. Tapi lain kali jangan diulangin lagi.” Dion melirik spion kirinya, “Sudahlah Ra, ngga usah terlalu kamu pikirin, anggab saja ini ujian untuk hubungan kita”
“Tapi ini salahku Yon, kalau sejak awal aku tutup mulut soal ini, mungkin kita ngga akan disuruh putus sama senior kita”
“ALPHALA itu keras Ra, tapi sekeras apa pun sebuah benda, suatu hari nanti pasti melunak juga”
“Aku tahu Yon, tapi keputusan kita menyalahi kode etik!”
“Adera, hidup ini ngga akan seru kalau ngga ada yang namanya pembangkangan,”
“Dan kamu yang mengajakku untuk membangkang!”
“Dan kamu menerimanya.” Ucapnya santai tanpa rasa berdosa.
Mulutku membungkam seketika itu juga.
“Banyak senior kita yang membangkang kok. Kalau ngga ada yang mengawali, maka kita ngga akan seperti ini. Lagipula siapa sih yag bisa mencegah cinta masuk kehati? Cegek sayang aku ‘kan?” tanyanya menggunakan nama lapanganku.
“Pasti Nyol” jawabku menggunakan nama lapangannya juga, Kenyol.
“Kalau Cegek sayang sama aku, ayo kita hadapi masalah ini sama-sama. Ngga ada acara bohong kaya’ rencana kamu sebelumnya. Oke?” ucapnya dengan nada menasihati. Sebelumnya aku mengusulkan untuk pura-pura putus di depan  kakak senior, tapi si Kenyol ini menolak mentah-mentah rencana itu. Sebab menurutnya, menjalani hubungan dibalik kebohongan beratnya sama saja dengan mengangkat gajah dewasa diatas pasir gurun yang panas. Dia benar dan ini membuktikan bahwa dia adalah orang yang jujur dan anti selingkuh. Amien...
“Oke.” Jawabku.
Great, tos dulu” ia menekuk tangannya keatas dan menghadapkan telapak tangannya kebelakang melewati bahunya, mengajakku tos. Aku menyambutnya.
“Bagus, itu namanya Cegek yang aku kenal.”
“Sekalipun kita dijemur di panasnya matahari, jangan tinggalin aku sendiri ya?” pintaku dengan nada mengancam.
“Tenang aja, Kenyol selalu setia  dan ngga akan ninggalin atau ngelepasin Cegek”
Aku tersenyum. “Gombal...” ucapku dalam hati, tapi aku berharap bahwa kata-kata itu  benar adanya. Sadar atau tidak, kamu telah berjanji padaku Dion.
***
 “Angkat lutut kalian ke atas! Ingat, sampai terasa! Hitung 2 kali 8, mulai!” perintah kak Fika seperti biasa setiap latihan berlangsung. Semua anak ALPHALA disana mengikuti gerakan kak Fika__wakil ketua ALPHALA yang selalu galak__saat pemanasan.
Aku lihat Dion 2 barisan didepanku, badannya sedikit oleng ke kanan dan ke kiri mencoba mempertahankan keseimbangannya. Aku tersenyum melihat kegigihannya. Dan tiba-tiba sebuah pukulan mendarat tepat dibahuku.
Plak!!!
“Lihat apa kamu? Dion lagi!?” kak Erza yang melakukannya.
“Eh, ngga kok kak, aku cuma lihat pohon itu,” aku menunjuk pohon yang berada ‘tak jauh dari letak Dion berdiri, dan kulihat sekarang Dion juga memperhatikanku dan kak Erza dengan raut wajah bertanya.
Ngapain pohon dilihat?” dia memandangku dengan raut wajah skeptis. Kemudian ia memandangku sesaat dan berganti memandang Dion yang masih sama seperti sebelumnya, “Ya sudah teruskan pemanasannya.” Kak Erza meninggalkanku dan beralih keteman-temanku yang lain. Berusaha untuk membetulkan posisi dan cara pemanasan mereka yang salah. Kulihat senyuman miring di wajahnya. Mampus, Dion benar, aku ‘tak pandai berbohong.
 ‘Tak lama kemudian kak Erza kembali kesamping kak Fika. Kulihat kak Erza mendekatkan bibirnya ke telinga kak Fika. Membisikinya sesuatu yang sepertinya aku ketahui. Mampus kuadrat.
“Adera, Dion, maju kesini. Lainnya teruskan pemanasannya.” Perintah kak Fika.
Aku dan Dion maju kehadapan kakak-kakak senior diiringi pandangan tanya teman-temanku. Jantungku deg-degan, langkahku terasa berat, dan keringatku yang sebelumnya sudah banyak karena pemanasan semakin banyak. Tapi kulihat Dion yang berjalan disamping kiriku. Senyuman miringnya kembali tersungging. Oh tuhan... apa yang dipikirkan anak ini???
“Oke, masih ingat kata-kata kak Arin kemarin?” tanya kak Fika dengan tangan terlipat di dadanya.
“Masih kak” ucap kami berdua bersamaan.
“Berarti kalian sudah putus dong?”
Aku terdiam, tegang, mengapa suasananya seperti diklat kemarin?
Aku mulai membuka mulutku, mencoba untuk berbohong dan menyelamatkan kami berdua. “Ssud...”
“Belum.” Tiba-tiba Dion menjawab dengan cepat dan pendek.
Aku tercengang, alisku terangkat tinggi dan seketika aku melayangkan pandanganku ke Dion lalu ke kakak-kakak senior.
“Belum?” tanya kak Arin yang datang bersamaan saat Dion menjawab. Tapi ia sepertinya sudah tahu apa pokok permasalahan diantara kami semua. “Kamu tahu konsekuensinya apa?” lanjutnya dengan dingin.
“Kami tahu kak.”  Jawab Dion singkat. Jantungku semakin deg-degan. “bernafas, bernafas...” ucapku dalam hati untuk mengingatkanku agar tetap bernafas.
“Fika” kak Arin berpaling ke kak Fika yang seketika tahu apa maksud kak Arin.
“Kalian sudah tahu konsekuensinya, ya sudah jalankan” ia memberikan isyarat tangan seolah mempersilakan kami duduk di lapangan basket.
Aku mematung sebentar dan segera sadar ketika Dion menyentuh lembut punggung tanganku. Aku mengikutinya ke tengah lapangan basket yang terang benderang oleh sinar matahari jam 2 siang.
Kami berdua berdiri ditengahnya.
1 jam berlalu.
“Kau masih kuat?” tanya Dion kepadaku, kulitnya yang sawo matang dipenuhi butir-butir keringat sebesar jagung. Ia menyeringai kepadaku.
“Kuat, anak PA pantang menyerah, lagipula tinggal...” aku melirik jam sekolah dikejauhan “...3 jam kurang lagi” jawabku mencoba terlihat masih kuat, padahal aku sungguh kepanasan. Sepatuku saja bagaikan neraka.
“Kau ‘tak akan meninggalkan ALPHALA bukan?”
“Tidak”
“Tapi kau bisa meninggalkanku”
“Kau gila, aku sudah berjanji padamu” jawabku kini dengan ngos-ngosan.
“Tinggalkan aku, lihatlah dirimu, sebenarnya kau sudah ngga kuat bukan?”
“Aku masih kuat.”
“Lihat, kau melihat ke kanan lagi. Jangan berbohong”
“Baik, aku berbohong, tapi aku masih bisa bertahan.”
“Kau ‘tak bisa”
“Aku bisa!”
“Oh ayolah, jangan kau keluarkan sifat keras kepalamu sekarang ini, lihat dirimu. Kau bisa mati kena heatstroke!”
“Aku ngga peduli sama heatstroke, aku ngga akan melepaskan 1 diantara kalian berdua. Ngga ALPHALA dan ngga Dion” aku mengakhirinya dengan sebuah senyuman yang sepertinya terlihat seperti seringai kesakitan dimata Dion, karena alisnya langsung membentuk 1 garis lurus.
“Kau sudah gila!”
“Gila-gila begini aku pacarmu, hehehe” aku tertawa menantangnya.
“Kami datang membantu” sebuah suara dari luar lapangan terdengar. Hendra datang ke arah kami.
“Yah 3 jam dibagi orang sebanyak ini...” ia merentangkan kedua tangannya kesekelilingnya. Terlihat Yudhi, Oki, Dena, Wail, Olivia, Zoi, Kiki, Lidya, Ari, Saskia, dan teman-teman lainnya memasuki lapangan. “...bisa selesai dalam beberapa menit saja”
“Ka, kalian semua ngga usah melakukan semua ini. Ini urusan kami” ucapku merasa bersalah.
“Kode etik nomor 3. Kita semua adalah saudara bukan? Oleh karena itu kita harus saling membantu. Tapi ingat, kalian berhutang banyak kepada kami dan ALPHALA. Jangan macam-macam”
“Apa kau bercanda, memangnya kau pernah lihat kami macam-macam?” tanya Dion sambil menyambut tangan Hendra.
“Setidaknya sampai sekarang tidak” Hendra melirik nakal kepadaku. Aku membalasnya dengan tatapan skeptis.
“Keteguhan kami terhadap ALPHALA seteguh hati kami terhadap 1 sama lain, kalian ‘tak usah takut. Kami akan selalu berhati-hati.” Ucap Dion dengan sungguh-sungguh. Matanya berilat-kilat diiringi dengan senyuman miringnya yang  begitu menawan. Entah kenapa tenagaku serasa terisi kembali. Aku tersenyum.
“Teman-teman, sungguh suatu kehormatan memiliki teman seperti kalian...”
“Sudahlah, jangan ucapkan dialog dalam ‘5 cm’ itu lagi...” celetuk Dion. Semua tertawa. Dasar tukang sewot...
Dan waktu berjemur yang tersisa sore itu kami habiskan dengan bercanda. Terimakasih ALPHALA, kak Fika, kak Arin, kakak-kakak panitia lainnya, dan teman-temanku di ALPHALA atas keringanan dan bantuannya. Dan terimakasih tuhan untuk mempertemukanku dengan mereka semua, dan karena telah memberikanku sebuah mimpi dan keteguhan hati, dan dia yang kusayangi.


"Wah kalau ngebaca cerpen itu lagi, rasanya gw jadi inget sama mantan gw. hehe, emang sih, ni cerpen bersumber dari pengalaman pribadi gw. beneran deh, soal ngga di bolehin pacaran di organisasi, sama setting obrolan di atas sepeda motor itu.
yah, meskipun gw udah punya pacar lagi, dan pacar gw ini bener" gw sayangi (berharap dia yang terakhir dalam hidup gw). tapi teteplah, mantan adalah orang yang pernah sayang ama kita, dan kita juga pernah sayang sama mereka. so, malu juga tahu kalau hanya gara" putus aja jadi musuh-musuhan. hey, grow up!"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar