“Kita di organisasi ini adalah saudara! Kamu
tahu kenapa organisasi ini hampir tertutup? Itu karena dulu ada anggota semacam
kalian yang menyelewengkan tugas! Ngga
menutup kemungkinan kalian juga bisa kaya’
gitu”
“Cepat putus,
atau kujemur kalian berdua sampai matahari terbenam, dilapangan basket ini!
Mau?”
Seperti
terlukiskan di udara, kata-kata kak Arin dan kak Fika terus menari-nari
dimataku. Aku ‘tak bisa mengenyahkan kata-kata itu begitu saja seperti
membalikkan telapak tangan. Bukan hanya
karena kata-kata itu begitu menyakitkan dan mengancam, tapi juga karena
kata-kata itu benar. Keputusanku memang salah. Menerima Dion sebagai pemilik
hatiku. Tetapi cinta? Adakah yang bisa mencegahnya menyusupi kalbu seorang manusia?
Jika cinta datang dengan permisi, mungkin aku akan benar-benar menolaknya dan
menyuruhnya enyah sejauh mungkin. Dan mungkin juga aku bukanlah orang yang
konsisten, sebab sejak awal niatku memasuki tahun ajaran baru ini adalah
menggapai mimpiku, berada di puncak Mahameru. Tapi, sekali lagi, adakah yang
bisa mencegah cinta menyusupi kalbu seorang manusia? ‘tak ada yang berani
menjawab. Semua diam, walaupun aku sudah mencoba bertanya kepada rumput yang
bergoyang. Konyol? Itulah aku.
“Ngga usah dipikirkan...” ucap Dion yang
sedang menyetir sepedamotor. Hari ini dia sedang senggang di rumah, jadi dia
mau mengantarku pulang walaupun jarak rumahku dengannya sekitar 6 km.
“Aku ngga memikirkan apa pun” jawabku.
“Kau ngga pandai berbohong, lihat, matamu
melihat ke arah kanan. Itu tandanya orang sedang berbohong”
“Sotoy!” ucapku agak dongkol.
“Terserah,
tapi aku yakin kau sedang memikirkan apa yang dikatakan kak Arin dan Fika.”
Sepedamotor yang
kami naiki berdua untuk menuju kerumahku terus melintasi jalanan kota Ambarawa
yang mulai dipadati arus balik orang-orang yang pulang kerja. Mendung menghiasi
langit sore ini, dan sedikit demi sedikit titik-titik gerimis menghiasi helm
Dion, membuat bayanganku yang terpantul disana menjadi ‘tak jelas. Lama kami
diam hingga kami melewati kompleks pertokoan Gangpira.
“Ya, aku
memikirkannya” ucapku sambil mengusap air mata.
“‘Tak usah menangis
begitu” katanya sambil tersenyum miring, senyuman miringnya yang begitu khaslah
yang membuatku menyukainya.
“Siapa yang
menangis? Mataku iritasi tahu kena gesekan udara, makanya jadi kaya’ menangis”
“Iyadeh-yadeh Miss. Little Perfect...” ia menyeringai
lagi.
“Lagipula kamu
juga bohong kok,”
“Bohong apa?”
“Bohong kalau
kamu bilang mataku melihat kearah kanan”
“Cuma kamu
yang bohong, mau ngebodohin aku ya?
Ini...” dia mengetuk-ngetuk spion sepedamotor sebelah kiri yang agak mendongak
kesamping kiri atas “Alat berguna yang ngga
bisa bohong” ucapnya dengan penuh kemenangan.
“Iyalah...
kamu ini ngakunya ranking 1 di kelas kok ngga
nyadar-nyadar. Malu sama IQ neng...” ejeknya. Sialan!
Aku memukul
bahu kanannya agak keras hingga sepedamotor Dion sedikit membelok ke kiri.
“Hati-hati
dong neng, kalau jatuh ntar abang yang disuruh tanggung jawab kalau eneng
kenapa-kenapa!”
Aku
tercengang, nyaris saja kami menabrak sepedamotor lain di sebelah kiri kami.
“Maaf...” kataku dengan pelan, penuh penyesalan.
“Iya, ngga apa-apa. Tapi lain kali jangan
diulangin lagi.” Dion melirik spion kirinya, “Sudahlah Ra, ngga usah terlalu kamu pikirin, anggab saja ini ujian untuk
hubungan kita”
“Tapi ini
salahku Yon, kalau sejak awal aku tutup mulut soal ini, mungkin kita ngga akan disuruh putus sama senior
kita”
“ALPHALA itu
keras Ra, tapi sekeras apa pun sebuah benda, suatu hari nanti pasti melunak
juga”
“Aku tahu Yon,
tapi keputusan kita menyalahi kode etik!”
“Adera, hidup
ini ngga akan seru kalau ngga ada yang namanya pembangkangan,”
“Dan kamu yang
mengajakku untuk membangkang!”
“Dan kamu menerimanya.”
Ucapnya santai tanpa rasa berdosa.
Mulutku
membungkam seketika itu juga.
“Banyak senior
kita yang membangkang kok. Kalau ngga
ada yang mengawali, maka kita ngga
akan seperti ini. Lagipula siapa sih yag bisa mencegah cinta masuk kehati? Cegek
sayang aku ‘kan?” tanyanya menggunakan nama lapanganku.
“Pasti Nyol”
jawabku menggunakan nama lapangannya juga, Kenyol.
“Kalau Cegek
sayang sama aku, ayo kita hadapi masalah ini sama-sama. Ngga ada acara bohong kaya’ rencana kamu sebelumnya. Oke?” ucapnya
dengan nada menasihati. Sebelumnya aku mengusulkan untuk pura-pura putus di
depan kakak senior, tapi si Kenyol ini
menolak mentah-mentah rencana itu. Sebab menurutnya, menjalani hubungan dibalik
kebohongan beratnya sama saja dengan mengangkat gajah dewasa diatas pasir gurun
yang panas. Dia benar dan ini membuktikan bahwa dia adalah orang yang jujur dan
anti selingkuh. Amien...
“Oke.”
Jawabku.
“Great, tos dulu” ia menekuk tangannya
keatas dan menghadapkan telapak tangannya kebelakang melewati bahunya, mengajakku
tos. Aku menyambutnya.
“Bagus, itu
namanya Cegek yang aku kenal.”
“Sekalipun
kita dijemur di panasnya matahari, jangan tinggalin aku sendiri ya?” pintaku
dengan nada mengancam.
“Tenang aja,
Kenyol selalu setia dan ngga akan ninggalin atau ngelepasin Cegek”
Aku tersenyum.
“Gombal...” ucapku dalam hati, tapi aku berharap bahwa kata-kata itu benar adanya. Sadar atau tidak, kamu telah
berjanji padaku Dion.
***
Aku lihat Dion
2 barisan didepanku, badannya sedikit oleng ke kanan dan ke kiri mencoba
mempertahankan keseimbangannya. Aku tersenyum melihat kegigihannya. Dan
tiba-tiba sebuah pukulan mendarat tepat dibahuku.
Plak!!!
“Lihat apa
kamu? Dion lagi!?” kak Erza yang melakukannya.
“Eh, ngga kok kak, aku cuma lihat pohon itu,”
aku menunjuk pohon yang berada ‘tak jauh dari letak Dion berdiri, dan kulihat
sekarang Dion juga memperhatikanku dan kak Erza dengan raut wajah bertanya.
“Ngapain pohon dilihat?” dia memandangku
dengan raut wajah skeptis. Kemudian ia memandangku sesaat dan berganti
memandang Dion yang masih sama seperti sebelumnya, “Ya sudah teruskan
pemanasannya.” Kak Erza meninggalkanku dan beralih keteman-temanku yang lain.
Berusaha untuk membetulkan posisi dan cara pemanasan mereka yang salah. Kulihat
senyuman miring di wajahnya. Mampus, Dion benar, aku ‘tak pandai berbohong.
‘Tak lama kemudian kak Erza kembali kesamping
kak Fika. Kulihat kak Erza mendekatkan bibirnya ke telinga kak Fika.
Membisikinya sesuatu yang sepertinya aku ketahui. Mampus kuadrat.
“Adera, Dion,
maju kesini. Lainnya teruskan pemanasannya.” Perintah kak Fika.
Aku dan Dion
maju kehadapan kakak-kakak senior diiringi pandangan tanya teman-temanku.
Jantungku deg-degan, langkahku terasa berat, dan keringatku yang sebelumnya
sudah banyak karena pemanasan semakin banyak. Tapi kulihat Dion yang berjalan
disamping kiriku. Senyuman miringnya kembali tersungging. Oh tuhan... apa yang
dipikirkan anak ini???
“Oke, masih
ingat kata-kata kak Arin kemarin?” tanya kak Fika dengan tangan terlipat di
dadanya.
“Masih kak”
ucap kami berdua bersamaan.
“Berarti
kalian sudah putus dong?”
Aku terdiam,
tegang, mengapa suasananya seperti diklat kemarin?
Aku mulai
membuka mulutku, mencoba untuk berbohong dan menyelamatkan kami berdua. “Ssud...”
“Belum.”
Tiba-tiba Dion menjawab dengan cepat dan pendek.
Aku tercengang,
alisku terangkat tinggi dan seketika aku melayangkan pandanganku ke Dion lalu
ke kakak-kakak senior.
“Belum?” tanya
kak Arin yang datang bersamaan saat Dion menjawab. Tapi ia sepertinya sudah
tahu apa pokok permasalahan diantara kami semua. “Kamu tahu konsekuensinya
apa?” lanjutnya dengan dingin.
“Kami tahu
kak.” Jawab Dion singkat. Jantungku
semakin deg-degan. “bernafas, bernafas...” ucapku dalam hati untuk
mengingatkanku agar tetap bernafas.
“Fika” kak
Arin berpaling ke kak Fika yang seketika tahu apa maksud kak Arin.
“Kalian sudah
tahu konsekuensinya, ya sudah jalankan” ia memberikan isyarat tangan seolah
mempersilakan kami duduk di lapangan basket.
Kami berdua
berdiri ditengahnya.
1 jam berlalu.
“Kau masih
kuat?” tanya Dion kepadaku, kulitnya yang sawo matang dipenuhi butir-butir
keringat sebesar jagung. Ia menyeringai kepadaku.
“Kuat, anak PA
pantang menyerah, lagipula tinggal...” aku melirik jam sekolah dikejauhan “...3
jam kurang lagi” jawabku mencoba terlihat masih kuat, padahal aku sungguh
kepanasan. Sepatuku saja bagaikan neraka.
“Kau ‘tak akan
meninggalkan ALPHALA bukan?”
“Tidak”
“Tapi kau bisa
meninggalkanku”
“Kau gila, aku
sudah berjanji padamu” jawabku kini dengan ngos-ngosan.
“Tinggalkan
aku, lihatlah dirimu, sebenarnya kau sudah ngga
kuat bukan?”
“Aku masih
kuat.”
“Lihat, kau
melihat ke kanan lagi. Jangan berbohong”
“Baik, aku
berbohong, tapi aku masih bisa bertahan.”
“Kau ‘tak
bisa”
“Aku bisa!”
“Oh ayolah,
jangan kau keluarkan sifat keras kepalamu sekarang ini, lihat dirimu. Kau bisa
mati kena heatstroke!”
“Aku ngga peduli sama heatstroke, aku ngga akan
melepaskan 1 diantara kalian berdua. Ngga
ALPHALA dan ngga Dion” aku
mengakhirinya dengan sebuah senyuman yang sepertinya terlihat seperti seringai
kesakitan dimata Dion, karena alisnya langsung membentuk 1 garis lurus.
“Kau sudah
gila!”
“Gila-gila
begini aku pacarmu, hehehe” aku tertawa menantangnya.
“Kami datang
membantu” sebuah suara dari luar lapangan terdengar. Hendra datang ke arah
kami.
“Yah 3 jam
dibagi orang sebanyak ini...” ia merentangkan kedua tangannya kesekelilingnya.
Terlihat Yudhi, Oki, Dena, Wail, Olivia, Zoi, Kiki, Lidya, Ari, Saskia, dan
teman-teman lainnya memasuki lapangan. “...bisa selesai dalam beberapa menit
saja”
“Ka, kalian
semua ngga usah melakukan semua ini.
Ini urusan kami” ucapku merasa bersalah.
“Kode etik
nomor 3. Kita semua adalah saudara bukan? Oleh karena itu kita harus saling
membantu. Tapi ingat, kalian berhutang banyak kepada kami dan ALPHALA. Jangan
macam-macam”
“Apa kau
bercanda, memangnya kau pernah lihat kami macam-macam?” tanya Dion sambil
menyambut tangan Hendra.
“Setidaknya
sampai sekarang tidak” Hendra melirik nakal kepadaku. Aku membalasnya dengan
tatapan skeptis.
“Keteguhan
kami terhadap ALPHALA seteguh hati kami terhadap 1 sama lain, kalian ‘tak usah
takut. Kami akan selalu berhati-hati.” Ucap Dion dengan sungguh-sungguh.
Matanya berilat-kilat diiringi dengan senyuman miringnya yang begitu menawan. Entah kenapa tenagaku serasa
terisi kembali. Aku tersenyum.
“Sudahlah,
jangan ucapkan dialog dalam ‘5 cm’ itu lagi...” celetuk Dion. Semua tertawa.
Dasar tukang sewot...
Dan waktu
berjemur yang tersisa sore itu kami habiskan dengan bercanda. Terimakasih
ALPHALA, kak Fika, kak Arin, kakak-kakak panitia lainnya, dan teman-temanku di
ALPHALA atas keringanan dan bantuannya. Dan terimakasih tuhan untuk
mempertemukanku dengan mereka semua, dan karena telah memberikanku sebuah mimpi
dan keteguhan hati, dan dia yang kusayangi.
"Wah kalau ngebaca cerpen itu lagi, rasanya gw jadi inget sama mantan gw. hehe, emang sih, ni cerpen bersumber dari pengalaman pribadi gw. beneran deh, soal ngga di bolehin pacaran di organisasi, sama setting obrolan di atas sepeda motor itu.
yah, meskipun gw udah punya pacar lagi, dan pacar gw ini bener" gw sayangi (berharap dia yang terakhir dalam hidup gw). tapi teteplah, mantan adalah orang yang pernah sayang ama kita, dan kita juga pernah sayang sama mereka. so, malu juga tahu kalau hanya gara" putus aja jadi musuh-musuhan. hey, grow up!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar